Rabu, 23 Mei 2012

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU

Oleh; Aang Baitul Mizan / D1 B4 08 036

BAB I
PENDAHULUAN

Sewaktu nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari Indo China sampai di Nusantara yang saat ini dikenal dengan nama Indonesia, mereka melihat hewan yang sama dengan hewan yang ada di negeri asalnya. Hewan tersebut adalah hewan yang pada saat ini disebut kerbau. Adanya kerbau di Nusantara sebelum nenek moyang bangsa Indonesia datang, menandakan bahwa Nusantara adalah habitat yang sesuai untuk kehidupan kerbau.
Kerbau merupakan salah satu ruminansia besar/sumberdaya genetik yang keberadaanya relatif kurang diperhatikan. Namun demikian, secara  nasional  kontribusinya  terhadap pembangunan petemakan cukup berperan penting. Kerbau umumnya dipelihara secara tradisional di tempat-tempat khusus, seperti sungai, semak-belukar, pinggir hutan atau rawa. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau belum banyak disentuh teknologi, sehingga peningkatan populasinya sangat lamban dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya.
Kerbau (Bubalus bubalis) yaitu rumunansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika. Kerbau memiliki peran penting dalam kehidupan sosio-ekonomi petani, yakni sebagai tabungan hidup, penunjang status sosial, sumber tenaga kerja, serta penghasil daging, susu dan pupuk (Diwyanto dan Subandriyo 1995; Mahardika 1996). Menurut Yusdja et al.(2003), sebagai penghasil daging, perkembangan populasi kerbau relatif lambat sehingga produktivitasnya rendah.
Usaha ternak kerbau ini dilakukan untuk tujuan produksi daging, kulit dan tenaga kerja. Meskipun di beberapa wilayah tertentu produk daging kerbau sangat diminati masyarakat, seperti di daerah Sumatera Barat, Banten dan wilayah lain, namun pada segmen pasar tertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif terbatas. Seperti diketahui bahwa produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatif rendah, karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yang memerlukan pemikiran untuk mengatasinya.
Untuk  meningkatkan  produksi daging kerbau  kebijakan pemerintah diarahkan  pada pengembangan pembibitan, diatur melalui  Peraturan Menteri Pertanian No: 56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Kerbau yang Baik (Good Breeding Practice). Dalam aturan tersebut yang dimaksud pembibitan adalah kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak  melalui  pemuliaan yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan  baik  untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual belikan.  Persoalannya,  bagaimanakah strategi yang efektif untuk mendorong pengembangan pembibitan kerbau tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Potensi Ternak Kerbau
Kerbau mempunyai beberapa keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari daerah iklim kering, lahan rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran rendah. Kerbau   juga   memiliki   kemampuan memanfaatkan pakan berkualitas rendah seperti rumput kering dengan kadar nutrisi rendah dan serat  kasar  tinggi,   DlWYANTO  dan Handiwirawan (2006) menulis kerbau memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan sapi, yakni mampu hidup pada kawasan yang relatif 'sulit' terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Pada kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif jelek, setidaknya pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau bahkan lebih baik daripada sapi, dan masih dapat berkembangbiak dengan baik.
Selain itu kerbau memiliki kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim. Sebagai contoh, kerbau mampu bertahan hidup dengan baik meski terjadi perubahan temperature (heatload) dan perubahan vegetasi padang rumput. Dengan  keunggulan-keunggulan  tersebut, kerbau adalah salah satu temak yang potensial untuk dikembangkan, pengembangan usaha petemakan kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem dan sosio-budaya yang ada. Sistem pemeliharaan kerbau relatif lebih mudah.
Dalam usaha petemakan rakyat, kerbau dipelihara secara ekstensif terutama di daerah pantai, dimana pemeliharaan kerbau umunmya digembalakan.   Para   petani   biasanya memanfaatkan biomasa hijauan yang tersedia di sekitar sebagai sumber bahan pakan utama, dan praktisnya penggunaan input ekstemal masih sangat terbatas.

B.     Upaya Pengembangan dan Pelestarian Kerbau
Jumlah pemotongan kerbau (baik untuk kebutuhan daging maupun keperluan ritus adat budaya), semakin meningkat. Seperti yang terjadi pada kerbau Belang di Tana Toraja, menurut laporan DISNAK Tana Toraja (2004), bahwa jumlah pemotongan kerbau Belang mencapai 50 - 60 ekor/tahun, sedangkan kelahirannya hanya 10-20 ekor/tahun. Hal ini akan berdampak semakin terkurasnya populasi kerbau Belang.  Keadaan seperti ini akan mengancam sumberdaya genetik kerbau. Diperlukan upaya untuk menyelamatkan dan mengembangkan kerbau Belang sebagai salah satu sumberdaya genetic ternak yang perlu dilestarikan, untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan, terciptanya lapangan kerja dan peningkatan devisa negara.
Sudah banyak laporan dan kajian tentang prospek yang cukup baik untuk pengembangan ternak kerbau pada beberapa daerah, namun kurang mendapat perhatian yang serius.  Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kerbau terutama di daerah-daerah sentra kerbau yang secara nasional penting. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi pengurasan temak yang berakibat penurunan populasi.
Sejauh ini petemak tradisional memegang peranan yang besar dalam pelestarian ternak asli dan temak lokal termasuk kerbau. Di sisi lain ancaman kelestarian sumberdaya genetic datang sebagai akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran akibat migrasi genetik yang teijadi.  Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemumian temak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan sumber daya genetik temak  asli  yang  mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi.
Upaya pengembangan ternak kerbau dapat dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan).  Dalam upaya pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan kelembagaan serta peningkatan keterampilan dan wawasan para petemak. Pembentukan village breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok petemak merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau pembentukan pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau temtama pada wilayah yang memiliki populasi kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba keindahan, kontes temak misalnya dilihat dari performansnya dan bursa hewan, kegiatan seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul.
Diwyanto dan Handiwirawan (2006), menyampaikan altematif program pemuliaan yang dapat diterapkan di kawasan sumber bibit adalah program pemuliaan inti terbuka (Open Nucleus Breeding System). Dalam program ini, instansi pemerintah (UPT/UPT Daerah Dinas Petemakan) atau pihak swasta dapat bertindak sebagai inti yang memelihara temak bibit dasar.  Bibit  dasar  diperoleh  dengan penjaringan ternak yang mempunyai kualitas terbaik dalam hal:
1.      Daya reproduksi
2.      Pertumbuhan
3.      Tidak mempunyai cacat fisik atau turunan
4.      Bebas dari segala penyakit berbahaya.

        Sementara itu, UPT Daerah atau swasta lainnya dapat bertindak sebagai pemelihara temak bibit induk dan selanjutnya peteranak memelihara.  Kegiatan perbaikan mutu genetik dengan pola terbuka (open nucleus breeding system, ONBS) dan penjaringan dengan metoda yang tepat, benar, mudah dan murah perlu dimulai dan dilakukan secara konsisten, Hasil dari penjaringan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai replacement dan sisanya baru disebarkan untuk keperiuan pengembangan atau komersial.
Pola ONBS ini sangat tepat dilakukan untuk kawasan village breeding center (VBC) yang terintegrasi dengan pusat pembibitan ternak unggul, dimana output utamanya adalah pejantan unggul yang akan dipergunakan oleh Balai (Besar) Inseminasi Buatan. Ancaman terbesar untuk menerapkan ONBS adalah masuknya   penyakit   ketika   dilakukan penjaringan sapi betina dari VBC yang dimasukkan dalam populasi inti.  Kawasan pembibitan pada prinsipnya hams bebas penyakit menular.
Pengadaan pejantan unggul diperlukan Dalam suatu wilayah atau kelompok peternak kerbau pada lokasi yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok tersebut, hal ini akan sangat membantu dalam meningkatkan populasi dan produktivitas  kerbau.  Jika  perkawinan dilakukan secara alam, maka pejantan dapat digilir untuk setiap kelompok.
Seleksi atau pemilihan calon induk dan pejantan bertujuan untuk menghasilkan anak atau turunan yang baik pada generasi mendatang. Hal penting yang hams dijadikan prinsip utama dalam pemilihan calon induk dan pejantan adalah standar temak yang akan diseleksi perlu disesuaikan dengan permintaan konsumen atau pasar. Misalnya, pemilihan calon induk dan pejantan diarahkan untuk menghasilkan temak pedaging,  tangkas (balapan), atau penghasil susu.
Kendala dalam seleksi ternak kerbau adalah masih lemahnya identifikasi temak dan rekording yang dilakukan. Seleksi akan dapat beijalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data yang akurat. Petemak di Indonesia sebagaian besar belum melakukan indentifikasi maupun recording. Kondisi ini memungkinkan teijadinya kawin dalam keluarga antara bapak dengan anak, atau sebaliknya antara anak dengan induk, yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat inbreeding.

C.    Beberapa Problematika Pengembangan Populasi Kerbau
 Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lamban dibandingkan dengan temak sapi. Secara nasional perbandingannya sekitar 20% kerbau dan 80% sapi dan ratio ini masih berlangsung sampai saat ini.
Kondisi tersebut diatas antara lain dapat disebabkan karena dua factor yaitu factor eksternal dan factor internal

1)      Faktor internal
a.      Masak lambat
Kerbau termasuk ternak yang lambat di dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun (Toelihere, 1985; Do Kim Tuyen dan Nguyen Van LY, 2001); 2 – 3 tahun (Lendhanie, 2005); 2 – 2,5 (Subiyanto, 2010).
b.      Lama Bunting
Lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300 – 334 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Kerbau akan mengandung anaknya selama ± 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006)
c.       Berahi tenang
Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan system pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
d.      Waktu berahi
Umumnya berahi pada kerbau terjadi pada saat menjelang malam sampai agak malam dan menjelang pagi atau saat subuh atau lebih pagi (Toelihere, 2001).
e.       Jarak beranak yang panjang
Jarak beranak yang panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau kerja jarak beranak bervariasi dari 350 sampai 800 hari dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi dari 334 hari sampai 650 hari, tergantung pada manajemen yang dilakukan. Menurut Landhanie (2005) jarak beranak pada kerbau rawa antara 18 sampai 24 bulan.
f.       Beranak pertama
Panjang sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama pada kerbau. Hasil survei di Indonesia terutama di NAD, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan, umur pertama kali kerbau beranak masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan dengan rata-rata 47,7 bulan (Anonimaus, 1985 yang dikutip Keman, 2006). Sementara itu, di Brebes, Pemalang, Semarang dan Pati rata-rata umur kerbau pertama kali beranak, berturutturut adalah 44, 40, 44 dan 42 bulan (Suryanto, et al. 2002 yang dikutip Keman, 2006).
2)      Faktor Eksternal
Diantara faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performan reproduksi dan ada yang berpengaruh tidak langsung. Faktor eksternal yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi adalah:
a.      Pakan
Kontribusi pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap performan reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduktip (Tillman et al.,1983). Peternak kerbau di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan merupakan kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya di dapat pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawah atau pinggirpinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan. Pakan yang diberikan di kandang umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumput alam akan sangat menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh terhadap asupan pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugas yang harus dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu keunggulan kerbau adalah mampu memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun untuk mendapatkan performan reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas.
b.      Sosial Budaya
Beberapa daerah di Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi kerbau yang tinggi. Keterkaitannya bisa berupa dalam adat istiadat atau kebutuhan tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas. Rumah adat dan perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung melambangkan bentuk tanduk kerbau. Diduga kata “Minangkabau” berasal dari “Menang Kerbau (Hardjosubroto, 2006).
Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian seperti saur matua dan mangokal hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan pada saat upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur, dan pendirian rumah adat (Susilowati, 2008).
Bagi etnis Toraja, khususnya Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam kehidupan sosial mereka (Nooy-Palm, 2003 yang dikutip Stapanus, 2008) Selain sebagai hewan untuk memenuhi kehidupan sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya (Issudarsono, 1976 yang dikutip Stephanus, 2008). Kerbau juga merupakan hewan domestik yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang bermata pencaharian di bidang pertanian.
Di Banten, kerbau selain digunakan sebagai hewan kerja juga masyarakatnya sangat fanatic terhadap daging kerbau. Menurut Patheram dan Liem(1982) selera masyarakat Banten terhadap daging kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih pada kebutuhan tenaga kerja. Hal ini menunjukan bahwa budaya masyarakat sangat berperan terhadap perkembangan populasi kerbau. Populasi kerbau di Indonesia terdapat di seluruh provinsi, karena kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi. Kerbau bias berkembang mulai dari daerah kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di Jawa hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan daerah pantai utara Sumatera (Asahan sampai Palembang). Selain itu pengembangannya juga tidak akan menghadapi hambatan selera, budaya dan agama.
Selain beberapa hal diatas, penurunan populasi juga diduga berkaitan dengan sistem pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami akibat alih fungsi/konversi lahan ke penggunaan lain (seperti perumahan dan industri). Selain itu, peran kerbau pada sistem usaha tani belum berorientasi agribisnis serta ketersediaan bibit unggul  yang  masih  sangat  terbatas.
Permasalahan lain yang umum dihadapi di beberapa daerah adalah kelangkaan kerbau jantan sebagai pemacek, sehingga diperkirakan terjadi inbreeding yang tinggi, tingginya yang menurunkan mutu bibit, Namun hal ini dapat ditekan dengan adanya upaya-upaya melalui perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan) serta pencegahan dan pengendalian penyakit.  Disamping itu perlu adanya upaya peningkatan produktivitas kerbau   melalui   program   pemuliaan berkelanjutan.


D.    Upaya Mengatasi Problematika Pengembangan Ternak Kerbau
Banyak faktor yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau. Namun yang bisa dilakukan melalui efisiensi reproduksi adalah:
ü  Komitmen yang berkelanjutan. Penurunan populasi kerbau di daerah-daerah tertentu sudah lama terjadi, namun sampai sejauh ini dorongan pemerintah, terutama pemerintah daerah belum nyata mendorong perkembangan populasi di daerahnya masing-masing. Tidak sedikit peternak kerbau berlokasi jauh dari pusat pemerintahan sehingga banyak yang tidak tersentuh oleh laju pembangunan. Fasilitas untuk peningkatan populasi baik software maupun hardware belum sampai ketangan peternak kerbau.
ü  Pembentukan kelompok ternak memungkinkan dapat mendorong peningkatan populasi. Dalam kelompok para peternak bisa merencanakan usaha yang akan dilakukan sehubungan dengan peningkatan populasi, termasuk terbentuknya kandang kelompok.
ü  Melakukan seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan, terutama pada kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor betina dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang genetikanya baik. Peran pemerintah disini melakukan penjaringan agar fenomena yang sudah lama terjadi ini bisa dihentikan minimal dikurangi.
ü  Peternak yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan dengan memberikan sertifikat. Hal ini bias merangsang prestasi selanjutnya dan akan berpengaruh positif terhadap lingkungan.
ü  Mengembangkan program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang  padat populasi kerbaunya. Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk mengatasi terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat dipertanggungjawabkan (Subiyanto, 2010) Peran pemerintah harus mengaktifkan kembali produksi mani beku kerbau di Balai-Balai Inseminasi Buatan. Dengan Inseminasi Buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
ü  Peningkatan pendidikan inseminator. Inseminasi Buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang saat berahinya sulit diamati. Pada saat ini dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para inseminator, inseminasi buatan pada sapi potong sudah biasa dilakukan dengan prestasi yang baik.
ü  Lokasi peternak kerbau yang umumnya masih berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan inseminasi buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani peternak yang jaraknya dari pos bias belasan kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan populasi maka program sinkronisasi birahi waktu pelaksanaan dan jumlah yang akan diinseminasi bisa diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien. Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkop, 1986 yang dikutip Sujarwo).
ü  Untuk meningkatkan mutu genetik kerbau di suatu wilayah, bisa dilakukkan dengan membeli pejantan unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau menggunakan pejantan IB. Persilangan dengan tipe kerbau lain seperti dengan tipe perah juga biasa dilakukan dengan harapan keturunannya bias menghasilkan susu yang lebih banyak, minimal bisa memberi susu keturunannya dalam jumlah yang mencukupi.

Upaya yang  dilakukan  untuk memperbaiki rendahnya produktivitas dan meningkatkan eksistensi kerbau rawa jangka panjang dan berkelanjutan adalah:
ü  Perlindungan, pelestarian dan pengelolaan ternak kerbau berkelanjutan, meliputi:
a)      Peningkatan mutu genetik kerbau rawa atau kerbau lumpur lain yang ada di Kalimantan Selatan melalui grading up,
b)      Revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan ternak kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan
c)      Pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan.
ü  Pengadaan dan pengembangan bibit kerbau, meliputi;
a)      Melaksanakan program seleksi dan afkir (culling) secara lebih sistematis, dan
b)      Menyebarluaskan bibit unggul hasil seleksi dan telah memperoleh justifikasi dari lembaga berwenang baik pusat/ daerah.
ü  Program pemuliabiakan untuk memperoleh bibit yang baik, terdiri atas:
a)      Seleksi untuk peningkatan populasi dan produktivitas,
b)      Persilangan secara sistematis dan terarah, dan
c)      Program pencatatan (recording system) terutama di lokasi yang diarahkan pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achjadi, 2005).

Perbaikan manajemen budidaya merupakan salah satu strategi yang dianggap efektif untuk mendukung pengembangan  pembibitan kerbau.  Aspek utama yang harus diperbaiki dalam manajemen budidaya kerbau adalah: penyediaan bibit unggul, peningkatan kualitas  pakan, teknik  reproduksi,  dan  pengawasan kesehatan. Untuk mendukung perbaikan manajemen budidaya  tersebut diperlukan sentuhan permodalan,  pemasaran dan aspek penyuluhan.
1)      Bibit unggul 
Bibit adalah semua hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. Bibit kerbau diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a)      bibit dasar (elite/foundation stock), diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur yang mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata;
b)      bibit induk (breeding stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit dasar;
c)      bibit sebar (commercial stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit induk.

Persyaratan umum  bibit kerbau yang harus terpenuhi adalah
a.       kerbau bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang,  lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;
b.      semua kerbau bibit betina harus bebas dari cacat alat  reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukan gejala kemandulan;
c.       kerbau bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya.

Persyaratan khusus yang harus dipenuhi  bibit unggul adalah meliputi:
a.       kulit berwarna abu-abu, hitam, bulu berwarna abuabu sampai hitam;
b.      tanduk mengarah ke belakang horizontal, bentuk bulan panjang dengan bagian ujung yang meruncing serta membentuk setengah lingkaran;
c.       kondisi badan baik, bagian belakang penuh dengan otot  yang berkembang;
d.      leher kompak dan kuat serta  mempunyai proporsi yang sebanding dengan badan dan kepala;
e.       ambing berkembang dan simetris

2)      Pakan
Sebagian besar pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia berasal dari hijauan (60 %), baik dalam bentuk segar maupun bahan kering  (Subiyanto, 2010).  Pakan yang dianjurkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian NOMOR  56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman pembibitan kerbau yang baik (good breeding practice), yaitu;
a.       Setiap usaha pembibitan kerbau harus menyediakan pakan yang  cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat;
b.      pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar sera yang  relative  tinggi dan kadar energi rendah. Kualitas pakan hijauan tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan ada tidaknya zat toksik  (beracun) dan anti nutrisi;
c.       Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat- obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor;
d.      Air minum disediakan tidak terbatas (ad-libitum).

3)      Obat Hewan
a.       Obat hewan yang digunaka meliputi sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami.
b.      Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan kimia dan bahan biologik harus memiliki nomor pendaftaran. Untuk sediaan obat alami tidak dipersyaratkan memiliki nomor pendaftaran.
c.       Penggunaan obat keras harus dibawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat hewan.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kerbau mempunyai potensi dari berbagai sudut pandang untuk dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia. Kerbau merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging yang potensial untuk mendukung program revitalisasi pertanian dan kecukupan daging tersebut.
Kendala umum dalam pengembangan peternakan kerbau disebabkan masih merupakan usaha sampingan atau sebagai ternak pekerja, keterbatasan bibit unggul, kesehatan ternak dan pakan ternak. Dan dilihat dari efisiensi reproduksi faktor penyebab penurunan produktivitas kerbau disebabkan oleh faktor internal (masak lambat, lama bunting, berahi tenang, waktu berahi, jarak beranak yang panjang, beranak pertama) dan faktor eksternal (Pakan, Sosial budaya).
B.     Saran
Dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau di negeri ini kita perlu melaksanakan, memperhatikan dan memperbaiki aktivitas untuk menyiasati faktor internal dan eksternal  yang lebih terarah dan berkelanjutan.


DAFTAR PUSTAKA


Budi, 2007. Peningkatan Produktivitas Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) di Indonesia Melalui Kegiatan Pemuliaan Ternak Berkelanjutan (Review). Seminar Nasional Peternakan-Perikanan 2007. Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Biometrika. http://disnakkeswan.lampungprov.go.id/dadam/7_peningkatan_produktifitas_kerbau_lumpur.pdf .
Dwiyanto, K. dan E. Handiwirawan, 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi. Proseding, Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan  Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Puslitbang  Peternakan Bekerjasama dengan  Direktorat Pembibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa, Bogor. Hlm 2- 13.
Hamdan, A., Suryana. 2006. Potensi Lahan Rawa di Kalimantan Selatan Untuk Pengembangan Peternakan Kerbau Kalang. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. http://balitnak.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=34:3&download=668:3&start=20&Itemid=10
Hastono, 2008. Upaya Memperpendek Jarak Beranak Ternak Kerbau Melalui Kawin Tepat Waktu. Balai Penelitian Ternak. Bogor, http://www.litbang.deptan.go.id,
Subhan, Achmad., A. Hamdan., E. S. Rohaeni. 2005. Karakteristik Sistem Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Balai Pengkajian Trknologi Pertanian Kalimantan Selatan. http://balitnak.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=34:3&download=664:3&start=20&Itemid=10
Sulaeman. 2010. Percepatan Peningkatan Populasi dan Kualitas Kerbau Melalui Efesiensi Reproduksi. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010. Lab. Produksi Ternak Potong dan Kerja Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Kampus Unpad Jatinangor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkerbau11-3.pdf
Suryana, 2007. Usaha Pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3264073.pdf.
Triwulanningsih., E. 2007. Inovasi Teknologi Untuk Mendukung Pengembangan Ternak Kerbau. Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007. Balai Penelitian Ternak, Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/pkbo07-3.pdf
Triwulanningsih, E., E. Praharani, 2007. Karakterisasi bibit kerbau pada    agroekosistem  dataran  tinggi.  Balai  Penelitian  Ternak    Bogor, http//peternakan.litbang.depten.go.id